Minggu, 24 Mei 2009

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Tetanus berasal dari bahasa yunani yaitu tetanus yang berarti peregangan. Berikut ini adalah beberapa pengertian tetanus neonatorum dari berbagai sumber:
1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek disusul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
2. Tetanus neonatorum adalah kejang yang sering dijumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih (Ngastiyah, 1997).

B. ETIOLOGI
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana. Masa inkubasi penyakit ini adalah antara 5-14 hari. Pada umumnya tetanus neonatorum berlangsung lebih berat daripada tetanus pada anak.
Selain disebabkan oleh clostridium tetani, tetanus neonatorum juga dapat disebabkan oleh :
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3. OMP, caries gigi
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril.

C. PATOFISIOLOGI
Spora yang masuk dan berada pada lingkunagan anaerobik berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosisi jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toksin disalurkan ke sel saraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksinnya telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekauan.
Efek toksin pada :
1. Ganglion pra sumsum tulang belakang
Memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neuron yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekna pada membran neuro motorik.
2. Otak
Toksin yang menempel pada serebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
3. Saraf otonom
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, takikardi. Sekalipun otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti seperti disebutkan diatas.



Pathway

Clostridium Tetani

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik


Gangguan sumsum tulang belakang

Tonus otot meningkat

Otot menjadi kaku

Mulut sukar membuka

Bayi tidak dapat menyusu
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh








kejang

Resiko cedera

Otak
(Cerebral gangliosides)

Keseimbanagn tonus otot hilang

Spasme otot pernafasan

Liur (sekret) tertahan di tenggorokan
Bersihan jalan nafas tidak efektif



Otot kaku dan mengalami kelelahan

Pola nafas tidak efektif
Saraf otonom

Saraf simpatis

Takikardi

Hipoksia

Penurunan O2 di otak

Kesadaran menurun

Cemas
Kurang pengetahuan (orangtua/keluarga)


Sumber: Robbins dan Kumar,1995

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat pun mampu mengenalinya sebagai ”penyakit hari kedelapan”. Anak yang semula menangis, menyusu dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukkan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan dalam menyusu, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa. Bentukan mulut menjadi mencucu seperti mulut ikan. Bayi yang semula kembali menjadi lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang semakin menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas. Kekakuan pada tetanus sangat khusus, yaitu fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar keseluruh tubuh tanpa diserati gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, fleksi pada siku dengan tangan dikepal keras-keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
Gambaran umum pada tetanus :
1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tidak dapat menetek.
2. Risus Sardonicus (Sardonic Grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimik
a) Dahi mengkerut
b) Mata agak tertutup
c) Sudut mulut keluar dan kebawah menggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
3. Opistolomus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh seperti pada otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kasar dan sebagainya. Lambat laun, masa istirahat kejanng makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
6. Pada tetanus berat akan terjadi:
a) Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus menerus atau oleh karena spasme otot laring yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
b) Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradikardi, takikardi atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak (hiperhidrosis)
c) Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retensi urin.
d) Pada tulang paha dan fraktur kompresi tulang belakang.

E. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia
2. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pencernaan.
3. Sepsis neonatorum

F. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
Pendekatan pengendalian panganan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengigat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun bayi maka praktek 3 bersih yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi.
Pencegahan tetanus neonatorum juga dapat dilakukan dengan pemberian toksoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.

G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medik
a) Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5 % dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum per oral/sonde, melalui infus diberikan tambahan proteindan kalium.
b) Diazepam dosisi awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukkan kedalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam 5mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan per oral dan diturunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
c) ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Per infus diberikan 20.000 U sekaligus.
d) Ampisilin 100mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien sepsis lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien menigitis bakterialis.
e) Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alkohol 70%/betadin 10%.
f) Perhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum adalah pasien yang gawat, mudah terangsang/kejang dan bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada otot pernafasan sering menyebabkan pasien apnea. Spasme otot telan akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat di kamar yang tenang tepim harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada bayi, dan bila terjadi apnea agar segera dapat dilakukan tindakan. Dahulu, kamar tetanus selalu gelap). Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah :
a) Gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah apnea, yang disebabkan karena adanya tetanospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis dan frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan terlihat sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan:
1) Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah tubuhnya.
2) Berikan O2 secara teratur karena bayi selalu sianosis (1-2 L/menit jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4L/menit. Jika kejang telah berhenti, turunkan lagi)
3) Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah jatuh kebelakang dan juga memudahkan penghisapan lendirnya. Selama masih kejang sudip lidah dipasang terus.
4) Sering isap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat lendir pada mulut bayi.
5) Observasi tanda vital secara kontinu setiap ½ jam dan catat secara cermat. Pasien tetanus neonatorum kemungkinan sewaktu-waktu dapat terjadi apnea karena mendapatkan antikonvulsan secara terus-menerus.
6) Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang selubung tempat tidur/kaii di sekeliling tempat tidur karena selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya agar memudahkan pengawasan pernafasannya). Bila bayi kedinginan juga dapat menyebabkan apnea. Jika bayi menderita apnea, tindakan yang dilakukan:
(a) Isap lendirnya sampai bersih (dari mulut juga hidung)
(b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L /menit)
(c) Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan frekuensi 50-60´ per menit. Tekanan dapat dilakukan dengan kedua jari diatas dada bayi dan delapan jari di bawah punggungnya dengan frekuensi sama.
(d) Bila belum berhasil, cabutlah sudip lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50-60´ per menit bila perlu diselingi tiupan. Bila melakukan tiupan, caranya gembungkan dahulu pipi si penolong baru kemudian udara dihembuskan (dengan cara ini hembusan udara tidak terlalu kuat sehingga bahaya terjadinya alveoli pecah dapat dihindarkan). Bila nafas buatan tidak segera berhasil atau bayi sering apnea harus segera hubungi dokter. Pasien yang menderita tetanus neonatorum biasanya sejak masuk di ruangan segera dipasang infus untuk memberikan kalori dan keperluan pengobatan secara intravena.
b) Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menyusu dan keadaannya payah, untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infus dengan cairan glukosa 10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1 ½ % dengan perbandingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
c) Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Kepada orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus perlu diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat/gawat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus, keberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan. Untuk pencegahan tetanus neonatorum ini suntikan diberikan 3 kali berturut-turut. Kepada pasien ibu hamil perlu dijelaskan bahwa tidak ada manfaatnya jika suntikan tidak lengkap 3 kali.
Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas perlu diberitahukan cara yang murah dan baik, yaitu menggunakan alkohol 70% dan kassa steril yang telah dibasahi alkohol kemudian dibingkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol yang sudah kering. Jika tali pusat telah lepas dikompres alkohol diteruskan lagi sampai lika bekas tali pusat kering betul (selama 3-5 hari). Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak pada bekas tali pusat karena akan dapat terjadi infeksi.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1 Pemeriksaan laboratorium
Liquor cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
2 Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen thorax dilakukan setelah hari kelima.






















ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1 Wawancara
a) Riwayat kehamilan prenatal
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT (Tetanus Toksoid) atau tidak.
b) Riwayat natal
Ditanyakan siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan.
c) Riwayat post natal
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset).
d) Riwayat imunisasi pada tetanus anak
Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan kapan terakhir.
e) Riwayat psiko sosial.
Meliputi kebiasaan anak bermain di mana, hygiene dan sanitasi lingkungan.
f) Pengetahuan anak dan keluarga, meliputi pemahaman tentang diagnosis, pengetahuan atau penerimaan tentang prognosa dan rencana keperawatan ke depan.
2 Pemeriksaan fisik.
a) Keadaan umum
Lemah, sulit menelan dan kejang.
b) Kepala
Posisi menengadah, kaku kuduk, Risus sardonikus, ekspresi muka yang khas, dahi mengkerut, alis teragkat, mata agak menyipit.
c) Mulut
Kekakuan mulut, sukar membuka, mengatupnya rahang seperti mulut ikan, sudut mulut keluar dan ke bawah.
d) Dada
Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung
e) Abdomen
Otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.
f) Kulit
Turgor kulit kurang, pucat, kebiruan
g) Ekstremitas
Fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat seperti sepotong kayu. Dikaji juga apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan binatang.
h) Respirasi
Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk dan pilek.
i) Kardiovaskuler
Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpireksia.
j) Neurologi
Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
k) Gastrointestinal
Bising usus, pola defekasi, distensi.
l) Perkemihan
Produksi urin.
m) Muskuloskeletal
Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernafasan.
2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas: sekresi yang tertahan.
3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengabsorpsi makanan.
4 Kurang pengetahuan (keluarga/orang tua) berhubungan dengan keterbatasan paparan.
5 Resiko cedera berhubungan dengan ketidaksadaran (kejang), hipoksia jaringan.

C. INTERVENSI
Diagnosa I
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan pola nafas efektif.
NOC : Respiratory Status : Ventilation
Kriteria Hasil :
a. Irama nafas sesuai yang diharapkan
b. Bernafas mudah
c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas
d. Tidak ada suara nafas tambahan
e. Ekspansi dada simetris
f. TTV dalam batas normal
Indikator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Respiratory monitoring
a. Monitor frekuensi, ritme, kedalaman pernafasan
b. Catat pergerakan dada dan kesimetrisannya
c. Palpasi ekspansi paru
d. Auskultasi suara pernafasan
e. Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
f. Monitor sekresi pernafasan pasien
g. Monitor hasil rontgen

Diagnosa II
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif.
NOC : Respiratory Status : Airway patency
Kriteria Hasil :
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.
Indikator Skala
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Airway Management
a. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Lakukan fisoterapi dada jika perlu
d. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
e. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
f. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
g. Monitor respirasi dan status O2

Diagnosa III
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat seimbang/terpenuhi.
NOC : Nutritional Status : Food and Fluid intake
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
d. Menunjukkan peningkatan fugsi pengecapan dari menelan
e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Indikator Skala
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jaramg menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering mrnunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Nutrition Monitoring
a. Berat badan pasien dalam batas normal
b. Monitor adanya penurunan berat badan
c. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
d. Monitor turgor kulit
e. Monitor pucat, kemerahan, kekeringan jaringan konjungtiva
f. Monitor kalori dan intake nutrisi

Diagnosa IV
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pengetahuan keluarga/orang tua mengenai penyakit anaknya cukup
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan program pengobatan.
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
Indikator Skala
1 : Jidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Teaching : Disease Process
a. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat.
b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang tepat
c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
d. Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat
e. Sediakan informasi pada keluarga tentang kondisi pasien
f. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
g. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
h. Instruksikan keluarga pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.

Diagnosa V
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan resiko terhadap terjadinya cedera tidak terjadi.
NOC : Risk Control
Kriteria Hasil :
a. Klien terbebas dari cedera
b. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
Indikator Skala
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Manajemen lingkungan
a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b. Memindahkan lingkungan yang berbahaya
c. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
d. Membatasi pengunjung
e. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
f. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien

D. EVALUASI
Diagnosa I
Kriteria Hasil Skala
a. Irama nafas sesuai yang diharapkan 5
b. Bernafas mudah 5
c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas 5
d. Tidak ada suara nafas tambahan 5
e. Ekspansi dada simetris 5
f. TTV dalam batas normal 5

Diagnosa II
Kriteria Hasil Skala
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang 5
bersih, tidak ada sianosis
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten 5
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat 5 menghambat jalan nafas.

Diagnosa III
Kriteria Hasil Skala
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan 5
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 5
c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi 5
d. Menunjukkan peningkatan fugsi pengecapan dari menelan 5
e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 5

Diagnosa IV
Kriteria Hasil Skala
a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan 5 program pengobatan.
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara 5
benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ 5
tim kesehatan lainnya.
Diagnosa V
Kriteria Hasil Skala
a. Klien terbebas dari cedera 5
b. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada 5
c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury 5



















DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Aziz Alimul .A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.

Hinchliff, Sue. 1997. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Johnson, Marion, dkk. 2000. Nursing Outcomes classification ( NOC ). Missouri: Mosby.

Mc. Clostrey, Deane C, & Bulecheck, Glorid M. 1996. Nursing Intervention Classification ( NIC ). Missouri: Mosby.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta: EGC.

Santosa, Budi. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika.

Wong, Dona.L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar