Minggu, 24 Mei 2009

LAPORAN PENDAHULUAN
SPINA BIFIDA
A. PENGERTIAN
Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003).
Spina bifida (Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. (http:// www.medicasatore.com)
Spina bifida adalah kegagalan arkus vertebralis untuk berfusi di posterior. ( Rosa.M.Sacharin,1996)

B. KLASIFIKASI
1. Spina bifida okulta.
Kegagalan penyatuan arkur vertebralis posterior tanpa menyertai herniasi medulla spinalis atau meninges, tidak dapat dilihat secara eksternal, kadang merupakan penemuan sinar x kebetulan yang tidak bermakna. Sering terdapat nervus kapiler, seberkas rambut, atau lipoma superficial terhadap lesi ini, yang menunjukkan kehadirannya. Spina bifida okulta merupakan spina bifida yang paling ringan.
2. Spina bifida kistika.
Bentuk cacad tabung saraf, tempat kantong selaput otak menonjol melalui lubang. Kulit di atas pembengkakan biasanya tipis dan masa ini bertransiluminasi. Tekanan pada kantong menyebabkan fontanella menonjol.
3. Meningokel.
Penonjolan yang terdiri dari meninges dan sebuah kantong berisi cairan serebrospinal (CSS), penonjolan ini tertutup kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologik dan medula spinalis tidak terkena.
4. Mielomeningokel.
Protrusi hernia dari kista meninges seperti kantong cairan spinal dan sebagian dari medulla spinalis dengan syarafnya keluar melalui defek tulang pada kolumna vertebralis. ( Pincus.Catzel,1994)
C. ETIOLOGI
Penyebab spesifik dari spina bifida tidak diketahui. Banyak faktor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap 4 minggu setelah konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab : kadar vitamin maternal rendah, termasuk asam folat ; mengonsumsi klomifen dan asam valproat ; dan hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan bahwa hampir 50 % defek tuba neural dapat dicegah jika wanita yang bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, temasuk asam folat.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)
Adapun pendapat lain mengenai penyebab spina bifida :
1. Kekurangan folic acid (Vitamin B)
Folic acid (vit. B) dipercaya berperan mambantu tabung urat syaraf tulang belakang tertutup dengan sempurna. Sehingga kekurangan folic acid pada si ibu, akan menyebabkan penutupan tersebut tidak sempurna. Folic acid dapat diperoleh dari multivitamin, sereal, sayuran hijau seperti brokoli dan bayam serta buah-buahan.
2. Faktor genetika dan lingkungan
Selain hal itu para ilmuwan juga percaya bahwa sb diakibatkan oleh faktor genetika dan lingkungan. Tetapi perlu pula diketahui bahwa 95% anak sb lahir dari ortu yang tidak memiliki sejarah kelainan itu sendiri. Dengan kemungkinan sebagai berikut: bila dalam satu keluarga terdapat satu anak SB maka kemungkinan hal itu terulang adalah 1: 40, sedangkan bila dalam satu keluarga terdapat dua anak SB maka kemungkinanya adalah 1: 20. Bahkan di AS ditemukan bahwa setiap 1000 kelahiran terdapat satu anak SB dengan jumlah bayi perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Dan lebih sedikit dialami oleh keluarga afro amerika dibandingkan dengan kelurga berkulit putih. (http://www.bytesoftware.net/sb/sb.html)




D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari spina bifida mudah dipahami ketika dihubungkan dengan langkah-langkah perkembangan yang normal dari sistem saraf. Pada kira-kira 20 hari dari kehamilan tekanan ditentukan alur neural. Penampakan pada dorsal ectoderm dan embrio. Selama kehamilan minggu ke 4 alur tampak memperdalam dengan cepat, sehingga meninggalkan batas-batas yang berkembang ke samping kemudian sumbu di belakang membentuk tabung neural. Formasi tabung neural dimulai pada daerah servikal dekat pusat dari embrio dan maju pada direction caudally dan cephalically sampai akhir dari minggu ke 4 kehamilan, pada bagian depan dan belakang neuropores tertutup. Kerusakan yang utama pada kelainan tabung neural dapat dikarenakan penutupan tabung neural.
Pada kehamilan minggu ke 16 dan 18 terbentuk serum alfa fetoprotein (AFP) sehingga pada kehamilan tersebut terjadi peningkatan AFP dalam cairan cerebro spinalis. Peningkatan tersebut dapat mengakibatkan kebocoran cairan cerebro spinal ke dalam cairan amnion, kemudian cairan AFP bercampur dengan cairan amnion membentuk alfa-1-globulin yang mempengaruhi proses pembelahan sel menjadi tidak sempurna. Karenanya defek penutupan kanalis vertebralis tidak sempurna yang menyebabkan kegagalan fusi congenital pada lipatan dorsal yang biasa terjadi pada defek tabung saraf dan eksoftalmus.
(John Rendle,1994)











E. MANIFESTASI KLINIS
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.
Gejalanya berupa:1. Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir2. Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya3. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki4. Penurunan sensasi5. inkontinensia uri (beser) maupun inkontinensia tinja6. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).7. Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang)8. Lekukan pada daerah sakrum. (http:// www.medicasatore.com)
Akibat spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit, dan saluran genitourinari akibat spina bifida, tetapi semuanya tergantung pada bagian medulla spinalis yang terkena.
1. Kelainan motoris, sensoris, refleks, dan sfingter dapat terjadi dengan derajat keparahan yang bervariasi.
2. Paralisis flaksid pada tungkai ; hilangnya sensasi dan refleks.
3. Hidrosefalus
4. Skoliosis
5. Fungsi kandung kemih dan usus bervariasi dari normal sampai tidak efektif.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)






F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang lain dari spina bifida yang berkaitan dengan kelahiran antara lain adalah :
1. Paralisis cerebri
2. Retardasi mental
3. Atrofi optic
4. Epilepsi
5. Osteo porosis
6. Fraktur (akibat penurunan massa otot)
7. Ulserasi, cidera, dikubitus yang tidak sakit.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)
Infeksi urinarius sangat lazim pada pasien inkontinen. Meningitis dengan organisme campuran lazim ditemukan bila kulit terinfeksi atau terdapat sinus. Pada beberapa kasus, filum terminale medulla spinalis tertambat atau terbelah oleh spur tulang (diastematomielia), yang dapat menimbulkan kelemahan tungkai progresif pada pertumbuhan. Sendi charcot dapat terjadi dengan disorganisasi pergelangan kaki, lutut atau coxae yang tak nyeri. Hidrocefalus karena malformasi Arnold-chiari lazim ditemukan.( Pincus.Catzel,1994)













G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan diagnostik : kajian foto toraks, USG, pemindaian CT, MRI, amniosentesis.
2. Tes periode antenatal : fetoprotein alfa serum antara kehamilan 16 – 18 minggu, Usg fetus, amniosentesis jika hasil uji lainnya tidak meyakinkan.
3. Uji prabedah rutin : pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, pembiakan dan sensitivitas, golongan dan pencocokan silang darah, pemeriksaan foto toraks.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)
Pemeriksaan penunjang pada spina bifida dilakukan pada saat janin masih di dalam kandungan maupun setelah bayi lahir,
1. Pemeriksaan pada waktu janin masih di dalam kandungan
a. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut triple screen. Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma Down dan kelainan bawaan lainnya.
b. Fetoprotein alfa serum, 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida, akan memiliki kadar serum alfa fetoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis.
c. Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban).
2. Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:a. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.b. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda spinalis maupun vertebrac. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya kelainan. (http:// www.medicasatore.com)





H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah ruptur. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi hidrocefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan pada kulit diperlukan bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai sistem tubuh.
Berikut ini adalah obat-obat yang dapat diberikan :
a. Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi saluran kemih (seleksi tergantung hasil kultur dan sensitifitas).
b.Antikolinergik digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih.
c. Pelunak feces dan laksatif digunakan untuk melatih usus dan pengeluaran feces.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002, halaman 469)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan pra-bedah
- Segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan kasa steril yang direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi kasa yang tidak melekat, misalnya telfa untuk mencegah jaringan syaraf yang terpapar menjadi kering.
- Perawatan prabedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada mempertahankan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang basah.
- Suatu catatan aktivitas otot pada anggota gerak bawah dan spingter anal akan dilakukan oleh fisioterapist.
- Lingkaran oksipito-frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya.
b. Perawatan pasca bedah
- Perawatan pasca bedah neonatus umum
- Pemberian makanan peroral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.
- Jika ada drain penyedotan luka maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya tekanan negatif dalam wadah. Cairan akan berhenti berdrainase sekitar 2 atau 3 hari pasca bedah, dimana pada saat ini drain dapat diangkat. Pembalut luka kemungkinan akan dibiarkan utuh, dengan inspeksi yang teratur, hingga jahitan diangkat 10 – 12 hari setelah pembedahan.
- Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah, maka rentang gerakan pasif yang penuh dilakukan setiap hari. Harus dijaga agar kulit di atas perinium dan bokong tetap utuh dan pergantian popok yang teratur dengan pembersihan dan pengeringan yang seksama merupakan hal yang penting.
- Prolaps rekti dapat merupakan masalah dini akibat kelumpuhan otot dasar panggul dan harus diusahakan pemakaian sabuk pada bokong .
- Lingkaran kepala diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali seminggu. Seringkali terdapat peningkatan awal dalam pengukuran setelah penutupan cacad spinal dan jika peningkatan ini berlanjut dan terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus diberikan terapi yang sesuai. (Rosa.M.Sacharin,1996)













PATHWAY
Peningkatan AFP Penurunan asam folat Faktor lain (genetik, lingkungan)


Mempengaruhi proses pembelahan sel

Defek penutupan kanalis vertebralis

Kegagalan fusi kongenital pada lipatan dorsal

Nyeri akut Defek tabung saraf dan eksoftalmus
Krisis situasi (anak dengan defek fisik)
Resiko tinggi infeksi
Prosedur pembedahan Spina bifida
Perubahan proses keluarga



Lesi neurologis pada Otot dasar panggul lemah Jika lesi pada S2-4 (kaki,
Ekstremitas bawah anus) lemah.
(diastematomielia)
Penurunan motilitas usus Paralisis kandung kemih

inkontinensia alvi Saraf terjepit Sensasi rectum dan anus
Mielodisplasia terganggu (bahkan tak ada)

Resiko kerusakan integritas kulitParalisis kelumpuhan kerusakan fungsi usus dan
(lengan, tungkai, otot rektum
bawah)``
Inkontinensia ani
Kerusakan neuromuskuler
Kerusakan mobilitas fisik
Sumber : John Rendle dkk,1994
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
PADA KASUS SPINA BIFIDA

A. PENGKAJIAN
1. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah yang menderita penyakit sejenis, bagaimana kondisi kehamilan ibu (demam selama kehamilan, epilepsi, mengkonsumsi obat-obat tertentu, dsb), kaji kehamilan sebelumnya (angka kejadian semakin meningkat jika pada kehamilan dua sebelumnya menderita meningomielokel atau anencefali).
2. Riwayat kesehatan sekarang.
Apa keluhan utama (kelumpuhan, gangguan eliminasi, dsb), adakah penderita yang sama di lingkungan penderita, sudah berapa lama menderita, kapan gejala terasa dan keluhan lain apa yang mengikutinya.
3. Pengkajian fisik
Pada pengkajian fisik didapat data-data sebagai berikut :
Ø Aktivitas/istirahat
Tanda : kelumpuhan tungkai tanpa terasa atau refleks pada bayi.
Gejala : dislokasi pinggul.
Ø Sirkulasi
Tanda : pelebaran kapiler dan pembuluh nadi halus, hipotensi, ekstremitas dingin atau sianosis.
Ø Eliminasi
Tanda : diurnal ataupun nocturnal, inkontinensia urin/alfi, konstipasi kronis.
Ø Nutrisi
Tanda : distensi abdomen, peristaltic usus lemah/hilang (ileus paralitik).
Ø Neuromuskuler
Tanda : gangguan sensibilitas segmental dan gangguan trofik paralisis kehilangan refleks asimetris termasuk tendon dalam, kehilangan tonus otot/vasomotor ; kelumpuhan lengan tungkai dan otot bawah.
Ø Pernapasan
Tanda : pernapasan dangkal, periode apneu, penurunan bunyi napas.
Gejala : napas pendek, sulit bernapas.
Ø Kenyamanan
Gejala : suhu yang berfluktuasi.
4. Pemeriksaan diagnostic
Ø MRI, CT scan, X-ray
Ø Tes serum alfa fetoprotein (AFP)
Ø Ultrasound
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
2. Resiko kerusakan integritas kulit b.d inkontinensia ani dan alvi
3. Perubahan proses keluarga b.d krisis situasi (anak dengan defek fisik)
Post Operasi
4. Nyeri akut b.d Agen cedera fisik (luka post operasi)
5. Resiko tinggi infeksi b.d prosedur pembedahan.










C. INTERVENSI
Dx 1
Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler.
NOC : Mobility level
Kriteria hasil :
1. Penampilan pasien seimbang
2. Penampilan posisi tubuh pasien
3. Pergerakan otot pasien normal
4. Pergerakan sendi pasien normal
5. Pasien dapat melakukan perpindahan
NIC : Exercise therapy : ambulation
1. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
2. Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
4. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi
5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
Dx 2
Resiko kerusakan integritas kulit b.d inkontinensia ani dan alvi
NOC : Tissue Integrity : skin & mucous membranes
Kriteria hasil :
1. Suhu kulit dalam batas normal
2. Tidak ada kemerahan pada kulit
3. Turgor kulit baik
4. Perfusi jaringan baik
5. Tidak terdapat lesi di kulit
NIC : Pressure management
1. Anjurkan pasien untuk mengenakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien secara teratur
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
6. Oleskan lotion pada daerah yang tertekan
Dx 3
Perubahan proses keluarga b.d krisis situasi (anak dengan defek fisik)
NOC : Family coping
Kriteria hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah yang dihadapi
2. Mencari bantuan
3. Gunakan strategi penurunan stress
NIC : Conseling
1. Kaji pemahamn keluarga
2. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dukungan
3. Tekankan dan jelaskan penjelasan professional kesehatan
4. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya
5. Ulangi informasi sesering mungkin
Dx 4
Nyeri akut b.d Agen cedera fisik (luka post operasi)
NOC : Pain level
Kriteria hasil :
1. Mengenali faktor penyebab
2. Menggunakan metode pencegahan
3. Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri.
4. Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
5. Menganali gejala – gejala nyeri
NIC 1 : Pain management
1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor – faktor presipitasi
2. Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamana, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
4. Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ex : temperatur ruangan , penyinaran)
5. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya : relaksasi, guided imagery, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas)
Dx 5
Resiko tinggi infeksi b.d prosedur pembedahan.
NOC : Pengendalian risiko
Kriteria hasil :
1. Terbebas dari gejala dan tanda-tanda infeksi
2. Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
3. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi risiko
4. Lekosit dalam batas normal, TTV dbn
NIC : Pengendalian infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Observasi adanya kemerahan, bengkak pada sisi operatif
4. Inspeksi sisi insisi untuk adanya kebocoran, uji drainase untuk adanya glukosa
5. Berikan perawatan luka
6. Kolaborasi medias untuk pemberian antibiotic








D. EVALUASI
Dx
Kriteria hasil
Skala
Keterangan skala
I







II





III





IV








V


1. Penampilan pasien seimbang
2. Penampilan posisi tubuh pasien
3. Pergerakan otot pasien normal
4. Pergerakan sendi pasien normal
5. Pasien dapat melakukan perpindahan


1. Suhu kulit dalam batas normal
2. Tidak ada kemerahan pada kulit
3. Turgor kulit baik
4. Perfusi jaringan baik
5. Tidak terdapat lesi di kulit

1. Percaya dapat mengatasi masalah yang dihadapi
2. Mencari bantuan
3. Gunakan strategi penurunan stress

1. Mengenali faktor penyebab
2. Menggunakan metode pencegahan
3. Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri.
4. Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
5. Menganali gejala – gejala nyeri
1. Terbebas dari gejala dan tanda-tanda infeksi
2. Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
3. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi risiko
4. Lekosit dalam batas normal, TTV dbn

4
4
4
4
4



2
2
2
2
2

4

4
4


4
4

4


4

4
4

4

4

4
1 : bergantung
2 : membutuhkan bantuan orang lain dan alat
3 : membutuhkan bantuan orang lain
4 : mandiri, bantuan alat
5 : mandiri

1 : Luar biasa kompromi
2 : Kompromi sekali
3 : Kompromi baik
4 : Kompromi sedang
5 : Tidak ada kompromi

1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan

1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan




1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
























DAFTAR PUSTAKA

Catzel, Pincus. 1994. Kapita Selekta Pediatri. Edisi II. Editor : Adrianto, Petrus. Jakarta : EGC.
Betz, Cecily L,dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Rendle, John Dkk. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak Edisi 6 Jilid 2. Bina Rupa Aksara: Jakarta
Sacharin, Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Editor : Ni Luh Yasmin. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi IV. Jakarta: EGC.
(http:// www.medicasatore.com)
(http://www.bytesoftware.net/sb/sb.html)

1 komentar: